Oleh ; Munif Chatib
Pernahkah kita sebagai
guru atau orangtua terjebak dalam situasi seperti di bawah ini. Dengan
tangan gemetar, anak kita memberi secarik kertas hasil ulangan harian
matematikanya. Gemetar dan mulai terisak, sebab dapat nilai 5. Bayangkan! Pasti
banyak dari kita yang juga gemas dan mungkin ikut menangis melihat hasil kerja
anak kita.
“Ya Allah nak …ini tahun
udah hampir 2010 matematika dapat 5? Sudah gak musim nak! Kalau kamu begini
terus nanti kamu jadi apaaaaa!!!
Biasanya adegan
selanjutnya adalah anak dengan pasrah terdiam menampung amarah orangtua baik
bola salju bergulir. Bahkan tidak sedikit yang berakhir dengan ‘pemukulan’
Saya sendiri heran,
kejadian di atas ternyata masih banyak dialami oleh orangtua yang mempunyai
background pendidikan yang lumayan tinggi, bahkan S2. Mengapa susah sekali
memberi pemahaman kepada para orangtua bahwa kesuksesan dan kecerdasan anak
kita sama sekali tidak terkait dengan hasil tes-tes standar. Mengapa tidak
terkait? Ada dua alasan yang perlu kita pahami.
Pertama, nilai hasil
tes standar yang didapat oleh anak kita sangat tergantung dari kualitas
soal-soal yang dibuat oleh guru atau pengawas (baca: pembuat soal). Dalam
‘penilaian modern’ yang dikenal dengan authentic assessment erdapat konsep yang
harus diketahui banyak orang, yaitu: SOAL YANG BERKUALITAS ADALAH SOAL YANG
DAPAT DIKERJAKAN OLEH SISWANYA.
Nah
… sampai disini kita para orangtua jika mendapatkan nilai tes anak kita rendah,
maka yang harus kita lihat dulu adalah ‘SOALNYA’ jangan buru-buru menghukum
anak kita dengan kata-kata yang menyakitkan hati anak kita.
“Dasar kamu bodoh!”
“Masa soal semudah ini kamu gak bisa!”
“Dulu mama selalu dapat nilai bagus, kamu kog gak bisa
sih seperti mama!”
Dan ratusan lagi kalimat yang akan membentuk ‘self
image’ anak kita negatif.
Lebih baik evaluasi
soal yang diberikan kepada anak kita. Terlalu banyak kejadian, sebenarnya anak
kita mampu mengerjakan, hanya karena instruksi soal yang tidak jelas atau
sengaja dibuat tidak jelas, maka akhirnya anak kita tidak mampu atau salah
dalam menjawabnya.
Kriteria soal yang
tidak berkualitas oleh beberapa ahli pendidikan dinamakan ‘disabillity test’
atau tes ketidakmampuan. Soal-soal tersebut mempunyai ciri-ciri di bawah ini:
Instruksi soal yang
tidak jelas dan dibuat sulit dipahami.
Soal yang mempunyai
satu jawaban tunggal.
Soal yang mempunyai
rubrik penilaian tunggal.
Soal yang berhenti pada
tangga terendah yaitu PENGETAHUAN.
Soal yang tidak
mempunyai ‘range’ dan tidak familiar.
1. Instruksi soal yang
tidak jelas dan dibuat sulit dipahami.
Contoh: Di bawah ini
yang tidak termasuk kecuali ……
2. Soal yang mempunyai
1 jawaban tunggal.
Contoh 1: Peraturan
dibuat untuk …
a) Dilaksanakan
b) Menjadi baik
c) Dipahami
d) Agar tidak
melanggar
Contoh 2: Pintu kamar
mandi terbuat dari …
a) Bambu
b) Kayu
c) Seng
d) Plastik
Sang pembuat soal model
di atas mengharapkan siswa melingkari 1 jawaban yang benar menurut persepsinya.
Hal inilah yang membuat anak-anak kita salah dalam menjawab, sebab persepsi
anak kita berbeda dengan persepsi pembuat soal. Coba perhatikan betapa banyak
soal-soal anak kita seperti yang dicontohkan di atas. Lalu jika anak kita salah
melingkarinya, kita spontan memarahi anak kita. Kita menyakiti hatinya. Kita
membangun kaki-kaki negatif pada ‘konsep diri’nya. Pembuat soal dan orangtua
yang terjebak dalam kondisi seperti ini harus ‘istighfar’.
3. Soal yang mempunyai
rubrik penilaian tunggal. Soal yang sesuai dengan konsep penilaian otentik,
minimal harus mempunyai dua rubrik penilaian. Jika soal tersebut mempunyai 1
rubrik penilaian, maka soal tersebut bukanlah soal otentik. Soal tersebut
tergolong dalam ‘disability test’ atau tes ‘ketidakmampuan’
Contoh soal multiple
choice adalah soal yang mempunyai rubrik penilaian tunggal, yaitu benar atau
salah. Itu saja.
Contoh soal penilaian
otentik adalah “Tulislah dengan pemahaman anda apa saja yang menyebabkan
terjadinya perang Diponegoro.” Rubrik penilaian yang dibuat oleh pembuat
soalnya adalah:
a) Kualitas ketepatan
jawaban
b) Jumlah paragraf yang
ditulis siswa
c) Alur penjelasan
d) Dan lain-lain
Nah tentunya anda dapat
menilai soal mana yang berkualitas. Sampai di sini, kita langsung tersentak dan
tersadar. Bagaimana kuailtas soal UASBN /UNAS yang mana menggunakan multiple
choice? Lalu hasil UASBN/UNAS digunakan menentukan standar kelulusan anak kita
dari jenjang satu ke jenjang yang lain. Lalu dengan UASBN / UNAS jutaan orangtua
kebingungan , was was dan stres menjelang UASBN / UNAS anaknya. Penekanan
belajar kognitif ditingkatkan. Sampai otak anak kita mengalami ‘down shifting’
(mengkerut). Lalu paradigma orangtua berubah menjadi menyekolahkan anaknya
dengan target tunggal yaitu nilai UASBN /UNAS nya berhasil dan tinggi. Saya
membayangkan setiap tahun berapa banyak anak-anak kita dan kita sebagai
orangtua tertimpa ‘musibah psikologis’ seperti ini.
Apalagi jika anak kita
berhasil lulus, hasilnya masih dibandingkan dengan nilai yang didapat oleh anak
lain atau sekolah lain. Lalu jika anak kita tidak lulus, langsung terjadi
‘kerapuhan mental beajar’, rasa ‘bodoh’, tidak percaya diri dan lain-lain.
Bahkan banyak kasus di beberapa daerah yang ‘bunuh diri’ sebab TIDAK LULUS
UASBN/UNAS.
4. Soal yang berhenti
pada tangga terendah yaitu ‘PENGETAHUAN’. Betapa banyak soal-soal anak kita
yang menghandalkan anak kita ‘hafal’. Namun tidak diikuti dengan naiknya tangga
kualitas, yaitu pemahaman, aplikasi, analisa, sintesa, evaluasi, dan membuat
produk kreatifitas. Sekali lagi hanya berhenti pada PENGETAHUAN dengan konsep
pertanyaan klasik Who, What, When, Where.
Contoh:
Siapakah penemu listrik …
Dan lain-lain ….
Dimanakah Sunan Kalijaga di makamkan?
Apakah yang dimaksud dengan teori fisika quantum?
Pada tahun berapakah terjadi perang Babat?
5. Soal yang tidak
mempunyai ‘range’. Artinya pembuat soal tidak memberikan batasan batas materi
yang akan diujikan. Atau soal dibuat berbeda dengan ‘range’ yang sudah
disepakati.
Contoh:
Guru berkata kepada
siswa-siswanya, “Anak-anak minggu depan ulangan bab 1 dan bab 2 ya …” Begitu
hari H, soal yang dikeluarkan adalah bab 5. Nah hal ini tidak sesuai dengan
range.
6. Soal yang tidak
familiar. Artinya, terutama soal matematika, sains dan lainnya harus lah
melalui pelatihan reguler setiap harinya. Soal-soal kognitif yang sudah di
‘drill’ setiap harinya itulah mestinya menjadi bahan untuk membuat soal
sesunguhnya. Sayang sekali, betapa banyak anak-anak kita waktu mengerjakan soal
UASBN /UNAS menemukan jenis dan model soalnya baru diketahui pada detik itu
juga. Anak-anak setiap harinya tidak pernah menjumpai soal dengan model seperti
itu. Nah inilah yang dimaksud dengan soal kognitif yang ‘tidak familiar’.
Nah, sungguh tulisan
ini saya maksudkan untuk memberi pemahaman terutama buat orangtua, agar lebih
luas memandang hasil tes anak kita. Agar lebih cerdas menganalisa hasil tes
anak kita. Tanpa kita buru-buru menyalahkan anak kita dengan kata-kata ‘bodoh’,
‘bahlul’, dan kata-kata lain yang menyakitkan hati.
Terakhir, saya memohon
kepada para orangtua, agar sekolah anak kita tidak ditujukan untuk mencari
nilai yang tinggi. Dengan beban bidang studi terbanyak di seluruh dunia, jangan
lagi anak kita tertekan dengan adanya ‘pintu gerbang terakhir yang menyerapkan’
yaitu harus lulus tes dengan nilai tertinggi.
Ingat,
sekolah itu tempatnya anak berbuat salah. Tempatnya anak tidak bisa. Untuk itulah
anak kita disekolahkan agar cerdas dan baik. Sekolah bukan perusahaan yang di
dalamnya harus berisi karyawan-karyawan yang menunjukkan produktivitas. Kalau
bisa jangan ada kesalahan. Yang sering terjadi adalah konsep di perusahaan
ditarik ke sekolah.
Beberapa teman, sudah
sadar dan mengatakan kepada saya. “Pak Munif saya sekarang tenang. Saya tidak
pernah menghukum dan mencela apalagi memaksa anak saya untuk mendapatkan
nilai-nilai yang tinggi di sekolahnya. Saya sekarang lebih banyak berbicara
tentang isi dari soal-soal dengan anak saya dan gurunya. Saya ulang kembali,
kenapa anak saya salah menjawabnya. Eh ternyata anak saya bisa kok menjawabnya,
meskipun dengan cara yang lain dan unik.
Salam
Perubahan .....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar